Malam minggu bagi sebagian orang biasa dimanfaatkan untuk melewatkan waktu bersama dengan orang yang dikasihi. Namun, bagi saya malam minggu bisa dimanfaatkan untuk berbagai macam hal. Salah satunya adalah belajar sejarah. Malu rasanya jika tidak tahu sejarah bangsa sendiri. Oleh karena itu, berawal dari postingan seorang teman di laman jejaring pertemanan, saya pun tanpa pikir panjang segera mendaftar untuk mengikuti acara jelajah museum.
Acara 'Night At The Museum' ini diadakan di Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta. Untuk mengikuti kegiatan ini peserta hanya perlu membayar tiket seharga Rp 20.000,-. Saya dan peserta lain pun berkumpul di Museum Benteng Vredeburg pada 9 November 2013 pukul 18.30. Sebelum melakukan penjelajahan, para peserta didata terlebih dahulu. Pada saat pendataan peserta, kami dibekali dengan sebotol air minum dan juga diberi sebuah pin. Ada dua orang yang menjadi pemandu pada acara tersebut, Pak Seno dari Museum Benteng Vredeburg dan Erwin yang merupakan mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah UGM.
Saya dan beberapa orang teman pun memilih untuk mengikuti rombongan yang dipandu oleh Pak Seno. Perjalanan kami dimulai dengan cerita Pak Seno mengenai Museum Benteng Vredeburg. Mulai dari kapan berdiri, fungsi bangunan yang ada serta seluk beluk mengenai benteng tersebut. Penjelasan pemandu kami tidaklah seperti ketika pelajaran sejarah saat sekolah dulu. Menurut saya Pak Seno menjelaskan dengan sangat menarik dan tidak terkesan membosankan.
Benteng ini dibangun dengan biaya dari Keraton Yogyakarta. Menurut orang Belanda, dibuatnya Benteng tersebut bertujuan untuk mengamankan Keraton, akan tetapi maksud sebenarnya adalah untuk mengawasi Keraton itu sendiri. Di kawasan Benteng ini terdapat patung dua orang pahlawan, yaitu Jenderal Sudirman dan Jenderal Urip Sumoharjo.
Kami berjalan menuju arah Timur, tepatnya ke arah gerbang belakang benteng yang tembus ke Taman Budaya Yogyakarta (TBY). Sambil berjalan, Pak Seno pun menceritakan pula sejarah TBY. Masih dengan semangat beliau menceritakan pula mengenai pasar tradisional yang dulunya berada di kawasan TBY yang dinamakan dengan 'Pasar Sriwedari'. Hal inilah yang menjadi cikal bakal nama jalan di depan TBY sekarang yang dinamai Jalan Sriwedari. Berjalan ke Selatan, kami pun berhenti sejenak di depan Gereja Kidul Loji. Pak Seno kembali menceritakan sejarah Gereja tersebut kepada kami. Dari Gereja kami lanjutkan perjalanan ke arah Barat.
Belum lama berjalan, kami kembali berhenti untuk mendengar kisah pemandu kami mengenai Kantor Bank Indonesia yang berdiri pada tahun 1915. Bank ini dulunya bernama De Javasche Bank pada masa sebelum Indonesia merdeka. Sayang sekali kami kurang bisa menikmati keindahan bangunan bank Indonesia dikarenakan trotoar depan bank tersebut dijadikan area parkir motor. Begitu pula trotoar depan Kantor Pos Besar yang berada di sebelah gedung Bank Indonesia ini juga dijadikan tempat parkir. Memang malam itu kawasan Nol Kilometernya Jogja sangatlah ramai. Saya tidak tahu apakah karena malam minggu atau ada acara yang diselenggarakan di kawasan tersebut.
Menyeberang ke Barat, kami sampai di depan gedung yang sekarang ini berfungsi sebagai Kantor Bank Negara Indonesia. Dulunya gedung tersebut adalah kantor asuransi milik pemerintah Hindia Belanda. Setelah mendengar sejarah gedung tersebut, kami beranjak ke area depan Gedung Agung. Bangunan tersebut berfungsi sebagai tempat tinggal Presiden ketika berkunjung ke Yogyakarta. Dari dulu saya sangat penasaran dengan bangunan tersebut, nampaknya keinginan untuk memasuki bangunan tersebut masih harus tertunda hingga entah kapan. Sampai sekarang ini kawasan Gedung Agung memang tidak dibuka untuk umum, tidak seperti Istana Negara yang mulai dibuka untuk umum mulai beberapa waktu belakangan ini.
Perjalanan masih berlanjut ke arah Utara. Di samping toko Mirota Batik terdapat sebuah Gereja Protestan. Bangunan yang selama ini saya kira hanyalah tempat parkir, ternyata merupakan bangunan cagar budaya yang sampai saat ini masih berfungsi sebagai tempat ibadah. Sebelum kembali ke Benteng Vredeburg kami menjumpai sebuah jam yang merupakan peninggalan sejak tahun 1700-an. Hebatnya, jam buatan Jerman tersebut masih berfungsi sampai sekarang.
Setelah berjalan sekitar 2 jam lebih kami pun kembali ke titik awal keberangkatan, Museum Benteng Vredeburg. Di sana panitia telah menyediakan makanan serta teh hangat bagi peserta jelajah museum. Meskipun agak melelahkan namun sangat menyenangkan sekali. Sambil duduk di atas tikar, peserta menikmati makanan yang telah disediakan sambil berbincang.
Melewatkan malam Minggu dengan belajar sejarah ternyata sangat menyenangkan.
Pak Seno, Pemandu kami |
peserta jelajah museum |
Gereja Kidul Loji |
Jam ini sudah ada dari tahun 1700-an lho |
setiap malam minggu ada acara ini?nanti pas pulang Jogja pengen ikut
ReplyDeletesalam kenal :)
salam kenal.
Deleteterima kasih sudah mampir. :)
gak setiap minggu ada, kebetulan waktu itu dapet info dari teman.
mungkin bisa cek di facebook 'Yogyakarta Night at The Museum'.
dulu ke sini gak pake pemandu..jadi kurang belajar sejarah y..
ReplyDeletesalam kenal,
Deleteiya, kalau gak ada pemandunya jadi kurang paham sejarahnya.
sayangnya kebanyakan museum di sini belum bisa memberi info yang detail.